Oleh
Dr. I Ketut Sudira, SH.,MH
Pendahuluan
Dalam Pasal 54 UURI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika ditentukan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan
narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social, serta
hakim dalam memutus perkara penyalahguna
narkotika wajib memperhatikan ketentuan Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) UURI
Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang memberi pedoman bagi hakim untuk
menempatkan pengguna narkotika ke dalam
lembaga rehabilitasi medis dan social.
Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika terdiri dari
reahbilitasi medis maupun social yang bertujuan untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika dan mengembalikan pecandu narkotika agar dapat
melaksanakan fungsinya dalam kehidupan masyarakat.[1]
Dalam konsideran Peratiuran Bersama Ketua mahkamah Agung
republic Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
Menteri Kesehatan republic Indonesia, jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala
badan narkotika Nasional republic Indonesia Nomor :01/PB/MA/III//2014, nomor 03
tahun 2014, Nomor 11 tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014,
Nomor:PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN
tentang Penanganan Pecandu narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke
Dalam Lembaga rehabilitasi disebutkan bahwa jumlah pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa atau narapidana dalam
tindak podana narkotika semakin meningkat serta upaya pengobatan/atau
perawatannya belum dilakukan secara optimal dan terpadu.
Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR) mencatat, dalam Meninjau
Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan, pandangan pengguna
narkotika sebagai pelaku kejahatan masih lebih dominan dibandingkan pendekatan
kesehatan dan penyembuhan terhadap ketergantungan narkotika. Sejumlah pasal
dalam UU Narkotika yang sering dikenakan oleh penuntut umum, baik dalam dakwaan
maupun tuntutan, baik dari pasal 111, pasal 112, pasal 114, maupun pasal 127 UU
Narkotika, sehingga ada “Kecenderungan penggunaan pasal dan cara perumusan
dakwaan dengan dakwaan subsidaritas ini membawa pengaruh yang signifikan
terhadap penempatan seorang pengguna narkotika di lembaga rehabilitasi baik
medis maupun sosial,” demikian sebut laporan yang dipublikasikan Mei 2016
tersebut.[2]
Kecenderungan penegak hukum
menggunakan pasal berlapis yang tidak sesuai dengan bukti – bukti yang
diperoleh dalam penanganan suatu perkara narkotika, disinyalir sebagaai penyebab
terbatasnya penggunaan asesmen dalam penegakan hukumnya yang berimplikasi pada penjatuhan pidana yang
tidak proporsional kepada penyalahguna narkotika sehingga tujuan penegakan
hokum pidana tidak tercapai.
Bertolak dari uraian di atas berikut
ini akan dibahas permasalahan : bagaimana implementasi peraturan bersama
tentang asesmen dalam penjatuhan pidana
terhadap penyalahguna narkotika ?
Pembahasan
Peraturan bersama Peratiuran Bersama Ketua Mahkamah Agung
republic Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
Menteri Kesehatan republic Indonesia, jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala
badan narkotika Nasional Republic Indonesia Nomor :01/PB/MA/III//2014, nomor 03
tahun 2014, Nomor 11 tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor:PER-005/A/JA/03/2014,
Nomor 1 Tahun 2014, Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu
narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga
rehabilitasi dibentuk dengan tujuan untuk menjadi pedoman teknis dalam penanganan
pecandu narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana dalam menjalani
rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Selain bertujuan pula agar
proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan,
penuntutan, serta persidangan dapat terlaksana secara sinergis dan terpadu.
Pada dasarnya perbuatan menggunakan dan menyalahgunakan
narkotika merupakan satu perbuatan pidana, sehingga terhadap pelaku sudah
selayaknya dilakukan proses hukum sebagaimana layaknya penegakan hukum terhadap
perkara pidana lainnya. Namun untuk saat ini penegakanan hukum terhadap pecandu
sudah tidak selalu menggunakan sarana penal, karena adanya keharusan
rehabilitasi bagi pecandu yang melaporkan diri pada instansi tertentu penerima
wajib lapor, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
Pergeseran bentuk pemidanaan dari hukuman badan menjadi
hukuman tindakan merupakan proses depenalisasi. Depenalisasi terjadi karena
adanya perkembangan atau pergeseran nilai hukum dalam kehidupan masyarakat yang
mempengaruhi perkembangan nilai hukum pada norma hukum pidana. Perbuatan
tersebut tetap merupakan perbuatan yang tercela, tetapi tidak pantas dikenai
sanksi pidana yang berat, lebih tepat dikenai sanksi pidana ringan atau
tindakan, karena mereka dianggap sebagai orang yang sakit sehingga perlu
mendapat perawatan dengan memberikan terapi maupun obat agar sembuh. Untuk
korban penyalahgunaan narkotika, sesungguhnya mereka tidak menyadari dengan apa
yang telah diperbuat disebabkan mereka melakukan perbuatan tersebut karena bujuk
rayu orang lain sehingga perlu diselamatkan dengan direhabilitasi, supaya tidak
semakin terjerumus dalam keparahan dampak narkotika.
Dalam menangani pecandu narkoba, aparat penegak hukum
harus berorientasi kepada sanksi tindakan berupa rehabilitasi demi menyelamatkan
masa depan mereka harus berlandaskan pada adanya pemahaman dan kesepakatan
bersama bahwa penyalahgunaan narkoba adalah masalah serius bangsa dan musuh
bangsa, oleh karena itu Pemerintah dan
aparat penegak hukum wajib bersatu padu menyamakan visi dan misi untuk
menanggulangi penyalahgunaan narkoba demi mewujudkan cita-cita luhur bangsa
menjadikan generasi bangsa yang sehat.
Rehabilitasi hanya diberikan kepada pengguna atau pengedar
narkotika/kecanduan yang berulang-ulang. Dan harus mendapatkan surat keterangan
dari dokter yang memastikan bahwa terdakwa dinyatakan dalam kondisi perlu
direhabilitasi, dalam hal ini hakim mengacu pada surat edaran Mahkamah Agung RI
nomor 4 tahun 2010 “tentang penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan
pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
Dalam Pasal 127 ayat (2) UURI Nomor 35 tahun 2009
ditentukan dalam memutus perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim wajib memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 (3) Dalam
penyalahgunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau
terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib
menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Alasan perlunya rehabilitasi terhadap pencandu narkotika
dikarenakan perjalanan kriminalisasi terhadap para pecandu narkotika ternyata
tidak juga dapat mengurangi tindak penyalahgunaan narkotika. Para pecandu yang
telah mengikuti pembinaan di lembaga pemasyarakatan sebagai pelaskana sanksi
tindak pidana narkotika, ketika keluar ternyata banyak yang tidak berubah.
Bahkan penggunaan narkotikanya semakin meningkat. Tentunya penjatuhan
pidana/sanksi pidana terhadap penyalahguna narkotika bukanlah jawaban sempurna
untuk pemberantasan penyalahgunaan narkotika di kalangan penyalahgunanya.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010
dinyatakan bahwa sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba
adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat
dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit. Oleh
karena itu, memenjarakan para pemakai atau korban penyalahgunaan narkoba
bukanlah suatu hal yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan
dan pengobatan;
Kriteria penempatan pecandu narkotika ke dalam lembaga
rehabilitasi adalah:
1. Terdakwa
pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam
kondisi tertangkap
tangan
2. Pada
saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, ditemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu)
hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:
a. Kelompok
metamphetamine (shabu) : 1 gram
b. Kelompok MDMA
(ekstasi) : 2,4 gram atau sama dengan 8 butir
c. Kelompok Heroin : 1,8
gram
d. Kelompok Kokain : 1,8
gram
e. Kelompok Ganja : 5 gram
f. Daun Koka : 5 gram
g. Meskalin : 5 gram
h. Kelompok Psilosybin :
3 gram
i. Kelompok LSD
(d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram
j. Kelompok PCP
(phencylidine) : 3 gram
k. Kelompok Fentanil : 1
gram
l. Kelompok Metadon : 0,5
gram
m. Kelompok Morfin : 1,8
gram
n. Kelompok Petidin :
0,96 gram
o. Kelompok Kodein : 72
gram
p. Kelompok Bufrenorfin :
32 mg
3. Surat
uji laboratorium positif menggunakan narkoba berdasarkan permintaan
penyidik
4. Perlu
surat keterangan dari dokter jiwa psikiater pemerintah yang ditunjuk
oleh hakim
5. Tidak
terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
narkotika.
Dalam Pasal 13 ayat
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor bagi Pecandu Narkotika,
ditentukan bahwa pecandu yang sedang
menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis
dan/atau rehabilitasi social, yang
kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam Ayat (4) bahwa penentuan
rehabilitasi pecandu menjadi kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim
setelah mendapat rekomendasi dari tim dokter, sehingga yang dapat
direhabilitasi medis maupun sosial tidak hanya terbatas bagi pecandu yang
melaporkan diri, namun pecandu, korban penyalahguna yang perkaranya diperiksa
oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap tangan, dapat
direhabilitasi oleh petugas yang sedang menangani perkaranya.
Dalam praktek peradilan pengaturan dalam undang-undang
narkotika maupun peraturan pemerintah yang menentukan rehabilitasi bagi pecandu
maupun korban penyalahguna narkotika yang berkedudukan sebagai tersangka,
terdakwa sangat jarang dilaksanakan oleh penegak hukum, baik penyidik, penuntut
umum maupun hakim, hampir tidak pernah memberi kesempatan merehabilitasi
mereka, dengan menggunakan pasal berlapis tanpa meneliti secara cermat
kualifikasi tindak pidana yang dilakukan
pelaku tersebut.
Penegakan hukum terhadap persoalan narkotika terutama
terhadap para pecandu maupun korban penyalahguna yang belum sesuai dengan
amanahnya, menimbulkan permasalahan narkotika semakin kompleks sehingga
jumlah korban penyalahguna, pecandu dan pengedar
dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak, oleh karena itu diperlukan
implementasi peraturan bersama diterapkan bagi pecandu narkotika, dengan
membentuk tim asesmen terpadu yang
berkedudukan di tingkat pusat, tingkat propinsi, tingkat kabupaten / kota
terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas melaksanakan analisis peran
tersangka yang ditangkap atas permintaan penyidik yang berkaitan dengan
peredaran gelap narkoba terutama bagi pecandu. Tim tersebut kemudian
melaksanakan analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial serta
membuat rencana rehabilitasi yang memuat berapa lama rehabilitasi diperlukan.[3]
Tugas tim terpadu antara lain :
1. Analisis
terhadap seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap tangan
dalam kaitan peredaran
gelap narkotika dan penyalahgunaan narkotika.
2. Asesmen
dan analisis medis, psikososial, serta merekomendasikan rencana terapi dan
rehabilitasi seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap.
Sedangkan
kewenangan tim assesmen terpadu antara lain:
1. Atas
permintaan penyidik melakukan analisis peran seseorang yang
ditangkap/tertangkap
tangan apakah sebagai korban penyalahguna narkotika/pecandu atau pengedar
narkotika
2. Menentukan
tingkat keparahan penggunaan narkotika sesuai dengan jenis
kandungan yang
dikonsumsi dan kondisi saat ditangkap/tertangkap
3. Merekomendasi
rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu dan korban
penyalahguna narkotika.
Hasil asesmen tersebut sebagai kelengkapan berkas perkara
berfungsi sebagai keterangan seperti visum et repertum dan hasil analisis akan
memilah peran tersangka sebagai penyalahguna, penyalahguna merangkap pengedar
atau pengedar, dalam hal mana Analisis Tim Assesmen terhadap penyalahguna ini
akan menghasilkan tingkatan pecandu mulai dari pecandu kelas berat , menengah
dan kelas ringan dimana setiap tingkatan pecandu memerlukan rehabilitasi yang
berbeda. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka mengoperasionalkan Pasal 54
Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana pecandu narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dalam kaitan ini
diharapkan penyalahguna narkoba akan dijerat dengan pasal penyalahguna saja
(Pasal 127 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika), dan selanjutnya
hakim menggunakan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana
hakim dapat memutus atau menetapkan untuk memerintahkan pecandu menjalani
rehabilitasi.[4]
Dalam Pasal 103 UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika ditegaskan bahwa hakim dapat memutus atau menetapkan pecandu narkoba
untuk menjalani pengobatan dan atau perawatan. Masa menjalani pengobatan dan
atau perawatan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Hal ini selaras
dengan salah satu tujuan dibentuknyaUndang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yakni untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial
bagi pecandu narkotika.[5]
Dalam observasi selama bertugas di Pengadilan Negeri Tangerang,
diperoleh bahan hokum bahwa tiap tahun Pengadilan Negeri Tangerang mengirimkan
narapidana narkotika sebanyak 2500 (dua ribu lima ratus) orang, dan dari jumlah
tersebut 2000 (dua ribu) orang diantaranya sebagai penyalahguna tetapi karena
hampir semua surat dakwaan disusun secara subsideritas atau alternative, maka
hanya 10 % saja yang terbukti sebagai penyalahguna sementara yang lainnya dikenakan
pasal 111 dan Pasal 112 UURI Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, hal tersebut tidak terlepas dari ketentuan
dimaksud sebagai pasal karet pada hal penjatuhan pidana sebagai penyalahguna
sebagaimana ketentuan Pasal 127 UURI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika
dapat lebih mencapai tujuan penegakan hokum pidana.
Harifin Andi Tumpa (Ketua Mahkamah Agung
periode 2009 s.d 2012) mengatakan hakim bisa menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa di bawah batas minimal yang telah ditentukan dalam undang-undang.Langkah
itu dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat."Apa yang ditentukan
undang-undang wajib dilaksanakan. Tapi tentu hakim itu bukan hanya corong dari
undang-undang melainkan dia juga harus mempertimbangkan rasa keadilan di
masyarakat"
SEMA Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2015 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan Hakim memeriksa dan memutus perkara harus
berdasarkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (pasal 183 ayat 3 dan 4 KUHAP).
Jaksa mendakwa dengan pasal 111 atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan
terbukti pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
mana pasal ini tidak didakwakan Terdakwa terbukti pemakai yang jumlahnya
relatif kecil (SEMA Nomor 4 tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai Surat
Dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat
pertimbangan yang cukup”
Kesimpulan
Implementasi peraturan bersama tentang assesmen bagi
pecandu dan penyalahguna narkotika belum dapat berjalan dengan baik karena penegak hokum belum sepenuhnya
memahami arti pentingnya pelaksanaan rehabilitasi dan assesmen yang benar –
benar memperhatikan resiko dari dampak penyalahgunaan narkotika, bukan saja
dari sisi rehabilitasi medis dan social, artinya yang perlu di assesmen dan
rehabilitasi hanya khusus pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, untuk
pengedar atau bahkan Bandar tidak perlu dilakukan assesmen atau rehabilitasi,
karena peran pengedar inilah yang perlu diputus jaringan dan memaksimalkan
hukuman sesuai perundang – undangan di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA :
1. Dani
Krisnawati dan Niken Subekti Budi Utami, Pelaksanaan Rehbilitasi Bagi Pecandu
Narkotika Pada Tahap Penyidikan Pasca Berlakunya Peraturan Bersama 7 (Tujuh)
Lembaga Negara Republic Indonesia, PPM FH UGM, Yogyakarta, 2014
2. I
Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Panduan Mahasiswa, Fikahati Aneska
Jakarta, 2010
3. Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000 Satjipto Raharjo,
Hukum dan Masyarakat, Cetakan Terakhir, Angkasa,. Bandung, 1980
4. Undang-undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
5. Peraturan
Bersama Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika Kedalam Lembaga Rehabilitasi
6. Peraturan
Kepala Badan Narkotika Nasional tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan atau
Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga
Rehabilitasi.
7. https://tirto.id/dilema-hukuman-rehabilitasi-narkoba-cvF8
[1] Pasal 1 angka 6 dan 7
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan wajib lapor
Pecandu narkotika.
[3] Pasal 8
Ayat (1) dan (2) Peraturan bersama tentang penanganan pecandu Dan
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
[4] Dani
Krisnaweati dan Niken Subekti Budi Utami, Pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu
Narkotika Pada tahap penyidikan Pasca berlakunya Peraturan Bersama 7 (Tujuh)
lembaga Negara, FH UGM, Yogyakarta, 2014, hlm.3
[5] Ibid . hlm
2
0 komentar:
Posting Komentar