Senin, 08 Juni 2020

REKOMENDASI TIM ASESMEN TERPADU DALAM PROSES PENANGANAN KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Oleh

Dr. I Ketut Sudira, SH.,MH


Pendahuluan

          Dalam  Pasal 54 UURI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social, serta hakim dalam memutus  perkara penyalahguna narkotika wajib memperhatikan ketentuan Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) UURI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang memberi pedoman bagi hakim untuk menempatkan  pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis  dan social.

Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika terdiri dari reahbilitasi medis maupun social yang bertujuan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika dan mengembalikan pecandu narkotika agar dapat melaksanakan fungsinya dalam kehidupan masyarakat.[1]

Dalam konsideran Peratiuran Bersama Ketua mahkamah Agung republic Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan republic Indonesia, jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala badan narkotika Nasional republic Indonesia Nomor :01/PB/MA/III//2014, nomor 03 tahun 2014, Nomor 11 tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor:PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga rehabilitasi disebutkan bahwa jumlah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa atau narapidana dalam tindak podana narkotika semakin meningkat serta upaya pengobatan/atau perawatannya belum dilakukan secara optimal dan terpadu.

          Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat, dalam Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan, pandangan pengguna narkotika sebagai pelaku kejahatan masih lebih dominan dibandingkan pendekatan kesehatan dan penyembuhan terhadap ketergantungan narkotika. Sejumlah pasal dalam UU Narkotika yang sering dikenakan oleh penuntut umum, baik dalam dakwaan maupun tuntutan, baik dari pasal 111, pasal 112, pasal 114, maupun pasal 127 UU Narkotika, sehingga ada “Kecenderungan penggunaan pasal dan cara perumusan dakwaan dengan dakwaan subsidaritas ini membawa pengaruh yang signifikan terhadap penempatan seorang pengguna narkotika di lembaga rehabilitasi baik medis maupun sosial,” demikian sebut laporan yang dipublikasikan Mei 2016 tersebut.[2]

          Kecenderungan penegak hukum menggunakan pasal berlapis yang tidak sesuai dengan bukti – bukti yang diperoleh dalam penanganan suatu perkara narkotika, disinyalir sebagaai penyebab terbatasnya penggunaan asesmen dalam penegakan hukumnya yang  berimplikasi pada penjatuhan pidana yang tidak proporsional kepada penyalahguna narkotika sehingga tujuan penegakan hokum pidana tidak tercapai.

          Bertolak dari uraian di atas berikut ini akan dibahas permasalahan : bagaimana implementasi peraturan bersama tentang asesmen dalam  penjatuhan pidana terhadap penyalahguna narkotika ?


Pembahasan

Peraturan bersama Peratiuran Bersama Ketua Mahkamah Agung republic Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan republic Indonesia, jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala badan narkotika Nasional Republic Indonesia Nomor :01/PB/MA/III//2014, nomor 03 tahun 2014, Nomor 11 tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor:PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga rehabilitasi  dibentuk dengan tujuan  untuk menjadi pedoman teknis dalam penanganan pecandu narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana dalam menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Selain bertujuan pula agar proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, serta persidangan dapat terlaksana secara sinergis dan terpadu.

Pada dasarnya perbuatan menggunakan dan menyalahgunakan narkotika merupakan satu perbuatan pidana, sehingga terhadap pelaku sudah selayaknya dilakukan proses hukum sebagaimana layaknya penegakan hukum terhadap perkara pidana lainnya. Namun untuk saat ini penegakanan hukum terhadap pecandu sudah tidak selalu menggunakan sarana penal, karena adanya keharusan rehabilitasi bagi pecandu yang melaporkan diri pada instansi tertentu penerima wajib lapor, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pergeseran bentuk pemidanaan dari hukuman badan menjadi hukuman tindakan merupakan proses depenalisasi. Depenalisasi terjadi karena adanya perkembangan atau pergeseran nilai hukum dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan nilai hukum pada norma hukum pidana. Perbuatan tersebut tetap merupakan perbuatan yang tercela, tetapi tidak pantas dikenai sanksi pidana yang berat, lebih tepat dikenai sanksi pidana ringan atau tindakan, karena mereka dianggap sebagai orang yang sakit sehingga perlu mendapat perawatan dengan memberikan terapi maupun obat agar sembuh. Untuk korban penyalahgunaan narkotika, sesungguhnya mereka tidak menyadari dengan apa yang telah diperbuat disebabkan mereka melakukan perbuatan tersebut karena bujuk rayu orang lain sehingga perlu diselamatkan dengan direhabilitasi, supaya tidak semakin terjerumus dalam keparahan dampak narkotika.

Dalam menangani pecandu narkoba, aparat penegak hukum harus berorientasi kepada sanksi tindakan berupa rehabilitasi demi menyelamatkan masa depan mereka harus berlandaskan pada adanya pemahaman dan kesepakatan bersama bahwa penyalahgunaan narkoba adalah masalah serius bangsa dan musuh bangsa, oleh karena itu  Pemerintah dan aparat penegak hukum wajib bersatu padu menyamakan visi dan misi untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba demi mewujudkan cita-cita luhur bangsa menjadikan generasi bangsa yang sehat.

Rehabilitasi hanya diberikan kepada pengguna atau pengedar narkotika/kecanduan yang berulang-ulang. Dan harus mendapatkan surat keterangan dari dokter yang memastikan bahwa terdakwa dinyatakan dalam kondisi perlu direhabilitasi, dalam hal ini hakim mengacu pada surat edaran Mahkamah Agung RI nomor 4 tahun 2010 “tentang penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Dalam Pasal 127 ayat (2) UURI Nomor 35 tahun 2009 ditentukan  dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 (3) Dalam penyalahgunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.

Alasan perlunya rehabilitasi terhadap pencandu narkotika dikarenakan perjalanan kriminalisasi terhadap para pecandu narkotika ternyata tidak juga dapat mengurangi tindak penyalahgunaan narkotika. Para pecandu yang telah mengikuti pembinaan di lembaga pemasyarakatan sebagai pelaskana sanksi tindak pidana narkotika, ketika keluar ternyata banyak yang tidak berubah. Bahkan penggunaan narkotikanya semakin meningkat. Tentunya penjatuhan pidana/sanksi pidana terhadap penyalahguna narkotika bukanlah jawaban sempurna untuk pemberantasan penyalahgunaan narkotika di kalangan penyalahgunanya.

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 dinyatakan bahwa sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit. Oleh karena itu, memenjarakan para pemakai atau korban penyalahgunaan narkoba bukanlah suatu hal yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan;

Kriteria penempatan pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi adalah:

1.    Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam

kondisi tertangkap tangan

2.    Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, ditemukan barang bukti

pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:

a.    Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram

b.    Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram atau sama dengan 8 butir

c.    Kelompok Heroin : 1,8 gram

d.    Kelompok Kokain : 1,8 gram

e.    Kelompok Ganja : 5 gram

f.     Daun Koka : 5 gram

g.    Meskalin : 5 gram

h.    Kelompok Psilosybin : 3 gram

i.     Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram

j.     Kelompok PCP (phencylidine) : 3 gram

k.    Kelompok Fentanil : 1 gram

l.     Kelompok Metadon : 0,5 gram

m.  Kelompok Morfin : 1,8 gram

n.    Kelompok Petidin : 0,96 gram

o.    Kelompok Kodein : 72 gram

p.    Kelompok Bufrenorfin : 32 mg

3.    Surat uji laboratorium positif menggunakan narkoba berdasarkan permintaan

penyidik

4.    Perlu surat keterangan dari dokter jiwa psikiater pemerintah yang ditunjuk

oleh hakim 

5.    Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Dalam Pasal 13 ayat  (3) Peraturan Pemerintah Nomor  25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor bagi Pecandu Narkotika, ditentukan  bahwa pecandu yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi social, yang  kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam Ayat (4) bahwa penentuan rehabilitasi pecandu menjadi kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim setelah mendapat rekomendasi dari tim dokter, sehingga yang dapat direhabilitasi medis maupun sosial tidak hanya terbatas bagi pecandu yang melaporkan diri, namun pecandu, korban penyalahguna yang perkaranya diperiksa oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap tangan, dapat direhabilitasi oleh petugas yang sedang menangani perkaranya.

Dalam praktek peradilan pengaturan dalam undang-undang narkotika maupun peraturan pemerintah yang menentukan rehabilitasi bagi pecandu maupun korban penyalahguna narkotika yang berkedudukan sebagai tersangka, terdakwa sangat jarang dilaksanakan oleh penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum maupun hakim, hampir tidak pernah memberi kesempatan merehabilitasi mereka, dengan menggunakan pasal berlapis tanpa meneliti secara cermat kualifikasi tindak pidana yang dilakukan  pelaku tersebut.

Penegakan hukum terhadap persoalan narkotika terutama terhadap para pecandu maupun korban penyalahguna yang belum sesuai dengan amanahnya, menimbulkan permasalahan narkotika semakin kompleks sehingga jumlah  korban penyalahguna, pecandu dan pengedar dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak, oleh karena itu diperlukan implementasi peraturan bersama diterapkan bagi pecandu narkotika, dengan membentuk  tim asesmen terpadu yang berkedudukan di tingkat pusat, tingkat propinsi, tingkat kabupaten / kota terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas melaksanakan analisis peran tersangka yang ditangkap atas permintaan penyidik yang berkaitan dengan peredaran gelap narkoba terutama bagi pecandu. Tim tersebut kemudian melaksanakan analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial serta membuat rencana rehabilitasi yang memuat berapa lama rehabilitasi diperlukan.[3]

Tugas tim terpadu antara lain :

1.    Analisis terhadap seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap tangan

dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaan narkotika.

2.    Asesmen dan analisis medis, psikososial, serta merekomendasikan rencana terapi dan rehabilitasi seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap.

 Sedangkan kewenangan tim assesmen terpadu antara lain:

1.    Atas permintaan penyidik melakukan analisis peran seseorang yang

ditangkap/tertangkap tangan apakah sebagai korban penyalahguna narkotika/pecandu atau pengedar narkotika

2.    Menentukan tingkat keparahan penggunaan narkotika sesuai dengan jenis

kandungan yang dikonsumsi dan kondisi saat ditangkap/tertangkap

3.    Merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu dan korban

penyalahguna narkotika.

Hasil asesmen tersebut sebagai kelengkapan berkas perkara berfungsi sebagai keterangan seperti visum et repertum dan hasil analisis akan memilah peran tersangka sebagai penyalahguna, penyalahguna merangkap pengedar atau pengedar, dalam hal mana Analisis Tim Assesmen terhadap penyalahguna ini akan menghasilkan tingkatan pecandu mulai dari pecandu kelas berat , menengah dan kelas ringan dimana setiap tingkatan pecandu memerlukan rehabilitasi yang berbeda. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka mengoperasionalkan Pasal 54 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dalam kaitan ini diharapkan penyalahguna narkoba akan dijerat dengan pasal penyalahguna saja (Pasal 127 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika), dan selanjutnya hakim menggunakan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana hakim dapat memutus atau menetapkan untuk memerintahkan pecandu menjalani rehabilitasi.[4]

Dalam Pasal 103 UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditegaskan bahwa hakim dapat memutus atau menetapkan pecandu narkoba untuk menjalani pengobatan dan atau perawatan. Masa menjalani pengobatan dan atau perawatan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan dibentuknyaUndang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu narkotika.[5]

Dalam observasi selama bertugas di Pengadilan Negeri Tangerang, diperoleh bahan hokum bahwa tiap tahun Pengadilan Negeri Tangerang mengirimkan narapidana narkotika sebanyak 2500 (dua ribu lima ratus) orang, dan dari jumlah tersebut 2000 (dua ribu) orang diantaranya sebagai penyalahguna tetapi karena hampir semua surat dakwaan disusun secara subsideritas atau alternative, maka hanya 10 % saja yang terbukti sebagai penyalahguna sementara yang lainnya dikenakan pasal  111 dan Pasal 112 UURI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hal tersebut tidak terlepas dari ketentuan dimaksud sebagai pasal karet pada hal penjatuhan pidana sebagai penyalahguna sebagaimana ketentuan Pasal 127 UURI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dapat lebih mencapai tujuan penegakan hokum pidana.

Harifin Andi Tumpa (Ketua Mahkamah Agung periode 2009 s.d 2012) mengatakan hakim bisa menjatuhkan hukuman kepada terdakwa di bawah batas minimal yang telah ditentukan dalam undang-undang.Langkah itu dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat."Apa yang ditentukan undang-undang wajib dilaksanakan. Tapi tentu hakim itu bukan hanya corong dari undang-undang melainkan dia juga harus mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat"

SEMA Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan Hakim memeriksa dan memutus perkara harus berdasarkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (pasal 183 ayat 3 dan 4 KUHAP). Jaksa mendakwa dengan pasal 111 atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan Terdakwa terbukti pemakai yang jumlahnya relatif kecil (SEMA Nomor 4 tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai Surat Dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup”

Kesimpulan

Implementasi peraturan bersama tentang assesmen bagi pecandu dan penyalahguna narkotika belum dapat berjalan dengan baik  karena penegak hokum belum sepenuhnya memahami arti pentingnya pelaksanaan rehabilitasi dan assesmen yang benar – benar memperhatikan resiko dari dampak penyalahgunaan narkotika, bukan saja dari sisi rehabilitasi medis dan social, artinya yang perlu di assesmen dan rehabilitasi hanya khusus pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, untuk pengedar atau bahkan Bandar tidak perlu dilakukan assesmen atau rehabilitasi, karena peran pengedar inilah yang perlu diputus jaringan dan memaksimalkan hukuman sesuai perundang – undangan di Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA :

1.    Dani Krisnawati dan Niken Subekti Budi Utami, Pelaksanaan Rehbilitasi Bagi Pecandu Narkotika Pada Tahap Penyidikan Pasca Berlakunya Peraturan Bersama 7 (Tujuh) Lembaga Negara Republic Indonesia, PPM FH UGM, Yogyakarta, 2014

2.    I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana Buku Panduan Mahasiswa, Fikahati Aneska Jakarta, 2010

3.    Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cetakan Terakhir, Angkasa,. Bandung, 1980

4.    Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

5.    Peraturan Bersama Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Kedalam Lembaga Rehabilitasi

6.    Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.

7.    https://tirto.id/dilema-hukuman-rehabilitasi-narkoba-cvF8

 



 



[1] Pasal  1 angka 6 dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan wajib lapor Pecandu narkotika.

[3] Pasal 8 Ayat (1) dan (2) Peraturan bersama tentang penanganan pecandu Dan Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi

[4] Dani Krisnaweati dan Niken Subekti Budi Utami, Pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu Narkotika Pada tahap penyidikan Pasca berlakunya Peraturan Bersama 7 (Tujuh) lembaga Negara, FH UGM, Yogyakarta, 2014, hlm.3

[5] Ibid . hlm 2


0 komentar:

Posting Komentar